Mikir Dulu, Apa Ketawa Dulu?


Suatu hari, sepulang sekolah, di dalam mobil. Sambil benerin jilbabnya yang mencong sana mencong sini, Si kakak bercerita dengan sangat antusias.

"Tadi tuh bun, temen aku, ada yang roknya melorot"

"Hah!!!?? melorot? Trus auratnya kelihatan dong?"

"Nggak sih, kan dia pakai daleman."

"Oh, gitu ya...syukurlah kalau begitu. Emang gimana ceritanya? Kok bisa melorot?"

Si kakak akhirnya bercerita dari awal mulanya kenapa roknya bisa melorot. Bahwa tadi di sekolahan, temannya itu ngeluh roknya kesempitan. Karena begah dan nggak nyaman di perut, akhirnya temannya itu minta kakak untuk nyopot kancing belakang dan nurunin resleting belakangnya. Diturunin sedikit, masih begah. Diturunin separo, masih nggak nyaman di perut.

Sampai akhirnya, atas permintaan temannya itu juga, resleting minta diturunin sampai bawah. Baru kemudian ia merasa tidak begah lagi.

Tapi ternyata, nasib naas menimpa temannya itu. Ketika mereka pergi ke kantin, rok nggak asik dan nggak nyenengin itu tiba-tiba jatuh melorot gitu aja. Spontan, semua yang ada di kantin tertawa terbahak-bahak. Beberapa guru yang lagi nongkrong di kantin pun ikut tertawa bersama murid-murid yang lain.


Foto: www.rumahjuara.com


Karena merasa malu dan sedih mungkin, temen kakak itu langsung lari ke kelas. Beberapa anak yang ngikutin dia, malah laporan ke beberapa temannya di kelas tentang kejadian di kantin itu. Jadilah kelas ramai gelak tawa anak-anak nertawain rok yang melorot itu.

Padahal, pemilik rok melorot itu sedang nangis di pojokan. Sedih, kecewa, kesal. Dan entah perasaan sedih apalagi yang dirasakannya.

Ketika Menyadari hal itu, anak-anak di kelas langsung diam. Perasaan bersalah mulai hadir diantara mereka. Beberapa anak mendekat, memeluk, trus minta maaf. Mereka berusaha menghibur. Tapi sayang, luka hati sudah terlanjur tergores, jarak sudah mulai terbentang. Teman si kakak masih saja terus menangis. Tidak peduli dengan rayuan gombal teman-temannya.

Bagaimana bisa, setelah menertawakan musibah yang menimpanya, trus tiba-tiba pada ngerayu-rayu nyuruh dia tersenyum? Pasti mereka cuma pada ngegombal, ya kan? Mungkin begitu pikiran temannya kakak itu.

Saya terdiam, sampai kemudian...

"Menurut bunda, aku harusnya tertawa atau tidak?" Tanya kakak tiba-tiba.

"Lha...bentar-bentar, bukannya kejadiannya itu udah tadi? Kenapa baru minta pendapat bunda sekarang?"

"Iya sih..." Ucapnya pelan.

"Jadi tadi kamu ikut ketawa apa tidak?" Tanyaku penasaran.

"Tadi aku cuma senyum aja sih, nggak ketawa. Padahal tadi itu lucu, aku pengen ketawa juga"

"Trus kenapa kamu nggak ikutan ketawa aja?"

"Soalnya, aku merasa kalau aku di posisi dia aku pasti bakalan sedih banget"

"Oh...iya ya...pasti sedih" Kataku pelan.

Pikiran saya tiba-tiba terbang entah ke mana. Jika ada yang bilang, bahwa anak adalah guru bagi orang tua, mungkin sekarang ini saya harus belajar sama bocah-bocah unyu itu.

Belajar apa??

Belajar tentang tertawa. Tentang menertawakan orang lain, lebih tepatnya.

Belajar melihat situasi dan kondisi sebelum tertawa. Lebih-lebih, yang kita tertawakan itu teman kita sendiri. Jangan sampai sudah tertawa terbahak-bahak, baru deh mau pulang minta maaf. Padahal, hati sudah terlanjur terluka. Eh, seenak-enak garang asem aja tinggal minta maaf.

Siapa yang sering begitu? hayo tunjuk tangan!!

Ketawa itu emang seru ya, apalagi kalau ketawanya bareng-bareng. Kadang-kadang, sering malah ya, ibu-ibu ngebully ibu-ibu yang lain. Entah itu urusan berat badan, jerawat, masakan nggak enak, atau muka kusat de esbre de esbre, trus ngetawain bareng-bareng. Padahal kita nggak tau, dibalik senyum orang yang kita ketawain sebenernya dia itu empet juga diketawain.

Dari serentetan cerita kakak di atas itu, saya mbayangin, kalau seandainya saat itu saya ada di tempat kejadian, kira-kira saya ketawa nggak ya?Atau saya malah panik? Atau diam? Atau nahan ketawa sampai sakit perut? Atau ketawanya dibawa pulang aja?

Kalau emak-emak semua, pilih mikir dulu apa ketawa dulu?




Komentar

Postingan Populer