Menabung Biaya Pernikahan Anak Perempuan


Setelah membaca tulisan mbak Ade anita di blognya tentang keinginannya menabung untuk biaya pernikahan putrinya, saya jadi termenung agak lama. Menikah, biaya, dan anak perempuan. Satu fase yang mungkin nanti setiap orang tua akan lalui. Tidak hanya anak perempuan, anak laki-laki pun sama. Kalau sudah ngomongin masalah menikah, pasti juga ngomongin biaya. Nggak usah muluk-muluk mikirin pesta, ke KUA aja harus bayar. Ye kan?


Saya jadi ingat peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Peristiwa sejarah yang tidak mungkin terlupakan sepanjang hidup ini. Uhuk. Duduk dilihatin orang banyak. Seumur-umur kayaknya baru itu saya jadi pusat perhatian beratus-ratus orang.

Menikah.

Kala itu, umur saya masih muda belia (nggak usah sebutin umur, bikin baper:D). Saya baru lulus kuliah, belum dapet kerjaan tetap. Gaji guru WB saat itu cuma 120 ribu per bulan. Ngenes ya?!? Kalau dihitung-hitung, buat beli sabun sama pulsa aja nggak cukup. Untungnya dulu belum ada internet, yang harus beli paketan data. Cukup sms aja 10 kali bisa dapet gratis sms 10 kali (paket gratisan IM3, masih inget aje).

Calon suami?

Calon suami juga baru lulus kuliah, langsung kerja, jadi freelance belum setahun, gajinya waktu itu 700 ribu. Hahaha....

Dengan kondisi keuangan saya dan calon suami seperti itu, kami anak lahir baru kemaren sore itu udah ngebet pengen nikah. Alasan pertama nggak mau pacaran-pacaran lagi, alasan kedua lelah gaji WB cuma segitu#modus. Unda undi, dilema. Orang tua sebenernya masih belum rela anak-anak piyiknya menikah, tapi kalau sudah ingin, mau gimana lagi. Nunggu siap secara finansial dulu entar malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Maksudnya, keasikan kerja trus males nikah gitu...

Karena kondisinya masih serba kekurangan seperti itu, saya bilang ke bapak dan emak, nikahnya yang sederhana saja. Tidak usah pakai acara pesta, tidak usah nyewa ini itu. Nikah saja di KUA, trus ngundang orang se Rt ke rumah buat syukuran.

Tapi ide saya ternyata ditolak mentah-mentah. Bapak tetap keukeuh pengen ngadain pesta. Seperti layaknya orang-orang yang menikahkan putrinya. Seperti adat di kampung, yang kalau putri sulung menikah itu harus dirame-ramein. Kalau perlu hajatannya sampe dua hari dua malam nyewa organ tunggal. Dimeriahkan oleh penyanyi penyanyi top kelas hajatan. Kalo perlu, nyewa gamelan, nyewa penata rias yang udah terkenal di kampung, nyewa dekor segede rumah. Ngundang orang se kecamatan. Mbahnya ngundang temen-temen yang udah tua, bapak-ibunya ngundang orang yang dikenal, anak yang nikahan juga ngundang temen-temennya. Komplit lah pokoknya...

Di kampung saya, orang hajatan masih tiga bulan lagi, tapi tiga bulan sebelumnya itu sudah ributnya minta ampun. Orang sekampung udah pada wira wiri ngurusin ini itu. Ribet lah pokoknya. Belum lagi ngumpul ini ngumpul itu. Bikin stres. Makanya, orang-orang di kampungku itu pada kapok kalo nikah. jadi nikahnya cuma sekali seumur hidup, nggak ada yang mau ngulangi lagi.

Biaya??

Walah-walah, jangan tanya. Habisnya tentu berjuta-juta. Berjuta-juta rasanya juga. Hahahah...

Sampai-sampai, di kampung saya itu, orang hajatan dijadikan bisnis yang menggiurkan lho. Buktinya, ada bank yang ngasih uang pinjeman untuk hajatan segala. Ada mnador (orang kaya) yang ngasih utang ke orang yang hajatan dengan bunga tertentu. Ngeri-ngeri sedap.


Dulu, bapak dan ibu calon mertua berbicara enam mata dengan saya. Memberi tawaran mahar apa yang harus disiapkan, tentang berapa biaya yang harus dibayarkan untuk acara pernikahannya. Tapi bapak sudah ngasih tahu saya, bahwa keluarga perempuan itu tidak layak meminta ini itu ke calon mempelai laki-laki. Meskipun hanya cincin satu gram.

Dan sayapun tidak meminta apapun, tidak menyebut serupiahpun uang yang harus dibayarkan. Semua biaya akan ditanggung bapak dan emak. Lunas.

Di indonesia sendiri, menggelar pesta pernikahan di tempat mempelai perempuan itu sudah biasa. Dan memang secara adat seringnya begitu. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perempuan lah yang harus repot ngurus acaranya. Laki-laki hanya datang dan menikmati acara. Beruntung kalau pihak laki-laki mau mengerti hingga turut membantu biayanya. Kalau nggak, ya pihak perempuanlah yang harus pontang panting sendiri.

Suami pernah bilang, besok kalau anak kita nikah nggak usah dirame-ramein, kasih aja uangnya buat modal usaha. Ide bagus sebenernya, mengingat kami dulu setelah nikah harus jual hp buat bayar kontrakan hahaha. Tapi di lingkungan kita yang seperti ini apa bisa?

Katanya, hajatan nikahin anak itu juga sebagai ajang kumpul keluarga. Dulu, saya bahagia banget lho, saudara-saudara yang dari jauh pada dateng semua. Ngumpul jadi satu cuma buat lihat saya nikah. Yang dari sumatra, semarang, pacitan, jakarta, semuanya kumpul. Lebaran aja nggak bisa ngumpul kayak gitu.

Sepuluh tahun yang akan datang, mungkin anak perempuan kami yang gantian minta nikah. Sudah siapkah? Udah punya tabungannya belum?

Biaya kuliah aja belum dipikir ya...hahahah

Jujur nggak jujur, siap nggak siap, bahwa orang tua itu selain nabung biaya pendidikan juga nabung biaya nikah anak. Apalagi anak perempuan.

Tanggal tua ngomongin tabungan trus #mumet. Hiks...



Gambar dari maskawen.blogspot.com












Komentar

Postingan Populer