Langsung ke konten utama

Bertindak Nyata


Suatu hari, saat saya nongkrong di luar sambil memarkir mobil, seorang mas-mas datang menghampiri tukang ketoprak keliling.

"Mas, ngaji yuk!" ajak mas-mas itu.

"Ah, nggak bisa, Mas. Mas kan tau sendiri saya keliling jualan."

"Sebentar saja. Tidak usah  banyak-banyak," Bujuknya.

"Tapi saya tidak punya Al qur'an mas." Penjual ketoprak mencoba beralasan lagi.

"Tenang, Mas. Nanti saya kasih Al qur'an nya. Mas mau yang mana? Yang besar atau yang kecil?" Tanyanya lagi.

"Saya nggak bisa yang hurufnya kecil-kecil," Kata tukang ketoprak.

"Oke, mas. Besok saya bawakan Al qur'an yang gede sekalian terjemahannya,"

Mas-mas penjual ketoprak keliling itu menelan ludah, tidak bisa beralasan lagi.

"Tapi bener ya, Mas. Cuma sebentar saja," Kata Penjual ketoprak penuh harap.

"Tenang, Mas.  Satu ayat saja. Nanti saat mas nya keliling, dibaca berulang-ulang ya, biar hafal sekalian."Penjual ketoprak pun tersenyum lega.

Mereka berdua akhirnya berjanji akan di tempat itu lagi keesokan harinya. Saya bersyukur, hari itu, saya menjadi saksi atas tindakan nyata seseorang untuk berbuat kebaikan. Lalu, sepanjang jalan menuju tempat yang saya tuju, pikiran saya melayang-layang entah kemana.

Bagaimana si mas-mas ini nyamperin para pedagang kelilling yang sedang nongkrong di pinggir jalan, bagaimana mas-mas ini memberi semangat untuk penjual ketoprak.

Keesokan paginya, di sebuah acara TV, diadakan wawancara dengan seorang nenek yang sudah sangat tua. Nenek itu sudah benar-benar tua. Umurnya 85 tahun, giginya sudah umpong, bicaranya sudah agak susah, nenek Saidah namanya. Hebatnya lagi, meski usianya sudah tergolong lanjut, nenek Saidah masih tetap berjualan peyek. Iya, peyek. Peyek-peyek itu hasil jerih payahnya sendiri, dijual sendiri.

Kamu tahu apa alasan nenek Saidah tetap berjualan?
Nenek Saidah bilang, beliau merasa kasihan melihat cucunya yang sakit dan tidak bisa apa-apa. Cucunya bergantung sama nenek Saidah. Bukan hanya cucunya, tapi juga anaknya. Anaknya yang di kampung, kadang masih mengandalkan uang nenek Saidah untuk membiayai hidup.

Mata saya tiba-tiba gerimais. Dan yang paling membuat saya terharu adalah... saat nenek Saidah ditanya oleh pembawa acaranya, "Apa harapan Nenek ke depannya?"

"Nenek hanya ingin sehat, biar bisa terus membantu anak cucu," jawabnya dengan suara mantap.

Ya Allah...Air mataku tiba-tiba menderas. Benarlah kata pepatah, kasih anak sepanjang jalan dan kasih ibu sepanjang masa. Sampai tutup usia mungkin. Nenek Saidah sosok ibu dan wanita yang mencintai anaknya sepanjang masa. Beliau telah menunjukkan, betapa sayangnya ia dengan anak dan cucu.

Dalam sebuah wawancara itu, nenek Saidah tidak sendiri. Beliau bersama dengan salah satu relawan di komunitas #ketimbangngemisjakarta. Sebuah komunitas yang membantu para kaum dhuafa agar terus melanjutkan usaha daripada mengemis. Mereka mencarikan donatur, lahan usaha, modal usaha, rumah berteduh bagi kakek-kakek dan nenek-nenek yang masih ingin berpenghasilan. Mereka mendorong para kaum dhuafa ini untuk membuka usaha sendiri daripada mengemis.

Ya Allah...saya sungguh merasa takjub sekaligus bangga. Di kota yang katanya individualis nya tinggi itu, ternyata masih ada sekelompok orang yang peduli dengan nasib orang lain yang kurang beruntung. Mereka bahkan sudah bertindak nyata.

Dan akhirnya, saya hanya tampak seperti buih dilautan. Tidak ada apa-apanya. Dibandingkan mereka para relawan #ketimbangngemisjakarta, dibandingkan mas-mas yang keliling ngajakin pedagang kecil mengaji, dibandingkan nenek Saidah yang memiliki kesabaran dan cinta yang luar biasa untuk keluarganya.

Saya sungguh tidak punya apa-apa. Tapi katanya, daripada mengeluh tidak punya sesuatu yang ingin diberikan, lebih baik memikirkan apa yang akan kita berikan.

Mungkin, tulisan saya yang secuil ini tidak berarti apa-apa juga. Tapi, kisah mereka begitu besar menginspirasi saya. Daripada menghujat, mencaci, dan meremehkan orang lain, kenapa kita tidak pikirkan saja bagaimana cara kita mengubahnya?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gigi Sudah Dicabut Tapi Masih Sakit

Gak punya foto dokter giginya. Adanya foto botol isi air garam buat kumur-kumur saat tindakan Selama pandemi ini, saya sering banget sakit gigi. Bentar-bentar sakit gigi, bentar-bentar ke dokter gigi. Padahal, ke dokter gigi dalam situasi seperti ini horor banget. apalagi kalau tempat dokter gigi langganan kena zona merah. Mau ke rumah sakit juga tambah takut. Masalah gigi ini sebenernya sudah lama banget. Tapi baru sekarang-sekarang ini aja bener parahnya. Disebabkan gigi geraham belakang bolong, trus lubangnya semakin lebar nggak karuan.  Sering sekali saya minta cabut aja sama dokter gigi. Tapi dokter gigi yang saya datangi seringnya menolak. Alasannya, tensi saya 130/90. Jadi kalau mau cabut gigi harus ke rumah sakit dulu, ke dokter penyakit dalam untuk cek segala sesuatunya sekaligus menurunkan tensi. Ujung-ujungnya ya ke rumah sakit dulu. Berhubung saya masih belum berani ke rumah sakit. Apalagi harus periksa gigi, harus cek ini itu, akhirnya acara cabut gigi batal terus. Daaaan.

Trip Sukabumi #Museum Palagan Perjuangan Bojongkokosan

Kemarin, saat kami berkunjung ke Sukabumi mengikuti kaki melnagkah dan nggak tau mau melangkah ke mana lagi, akhirnya ada informasi katanya di Parung kuda ada sebuah museum. Museumnya bernama museum Palagan Perjuangan Bojongkokosan. Dari luar, kami sama sekali nggak mengira kalau di dalam sebuah area yang ada patung gedenya itu ada museum tersembunyi. Saat kami mau masuk pun, bingung mau masuk lewat mana. Ada beberapa anak berseragam sekolah yang mlipir mlipir di dekat pagar. Ketika kami dekati, ternyata itu bukan  jalan masuk utama. Hanya jalan kecil buat lewat satu oarang yang suempit banget. Setelah muterin wilayah berpagar itu, kami akhirnya bertemu dengan seorang bapak dan ditunjukinlah ke mana kami harus masuk. Mendekati pintu gerbang utama, banyak anak sekolah yang lagi nongkrong. Eh, ngomong-ngomong pintu gerbang...pintu gerbang masuknya ternyata udah nggak layak banget. Seperti mau roboh dan susah dibuka #ngenes Saat kami masuk nggak ada satupun yang menyambut #eaa

Jalan-Jalan Nikmat di Kampung Turis

Waktu pertama kali dengar nama kampung turis, bayangan yang terlintas di benak adalah sebuah kampung yang banyak turisnya. Atau...sebuah tempat yang isinya menjual aneka jajanan berbau asing. Kayak di kampung cina, yang isinya macam-macam barang yang berbau kecinaan. Tapi ternyata saya salah. Kampung turis ternyata sebuah resto(tempat makan), tempat ngumpul bareng, tempat renang, tempat main anak, sekaligus tempat nginep. Bahasa gaulnya, Resort and Waterpark. Kampung Turis berlokasi di Kp. Parakan, desa Mekar Buana, kecamatan Tegal Waru-Loji, kab Karawang, Jawa barat. Jadi ceritanya, minggu pagi itu rencananya kami sekeluarga mau ke curug Cigentis. Di daerah Loji juga. Tapi berhubung pagi itu, saat mau berangkat mobil ngambek jadilah kami nunggu mobil pulang dari bengkel. Pulang dari bengkel sudah jam 11 siang. Kalau nggak jadi berangkat rasanya galau banget, kalau berangkat sepertinya tidak memungkinkan karena perjalanan dari rumah ke Loji saja sudah 2 jam. Kalau mau nekat ke curu