Kisah Seekor kucing Jalanan (#NulisRandom2015, Day 4)
#NulisRandom2015, Day 4
Perintah : Pergi ke luar rumah, cari binatang apa yang kamu temui di
perjalanan. Kemudian, berceritalah dengan sudut pandang binatang yang kamu
temui. Selamat berimajinasi!
Berhubung yang saya temui di jalan tadi kucing, berarti saya harus
menulis sebuah cerita dengan sudut pandang ku-cing. Masih mending, daripada
disuruh nulis tentang burung. Eng…ing….eng….#mikirsejenak.
Mari kita buat ceritanya!
***
Kisah Seekor kucing Jalanan
Selesai menyusui, seperti biasa, aku duduk di depan sebuah rumah
berpagar hijau tempat anak-anakku tinggal. Pagi itu, matahari bersinar redup,
jalanan sepi. Tidak banyak mobil yang lalu lalang melewati gang sempit di
perumahan kecil itu.
Di depan rumah berpagar hijau itu, akau merebahkan tubuh sebentar,
berguling guling di pasirnya yang terasa dingin.
“Mih…mih…” Anakku terlihat ribut memanggilku. Ia masih belum bisa mengeong
dengan sempurna. Beberapa hari yang lalu, aku baru saja melahirkannya ke dunia.
Badannya masih lemah, matanya juga belum terbuka sempurna. Meskipun begitu, aku
merasa lega. Sebab, pemilik rumah berpagar hijau itu berbaik hati memberikan
tempat yang layak untuk ketiga anakku.
Mereka tidur beralaskan kain tebal yang hangat, bersih, tertutup, tanpa
ada perasaan takut jika ada kucing jantan yang hendak mengganggunya.
Sambil rebahan dipasir, aku termenung sebentar. Berpikir. Kemana
hendaknya hari ini aku pergi mencari makan. Sejak menyusui kedua anakku itu,
badanku sering lemas, perutku sering terasa melilit menahan lapar.
Beginilah nasib kucing tak bertuan. Tak ada seorangpun yang mau
menjamin makan, tempat tinggal, dan keamanan. Penghuni rumah berpagar hijau itu
hanya sesekali memberiku makan. Itu pun jika tuan rumahnya ada di rumah. Jika
tidak, aku akan seharian berkeliling menyusuri rumah-rumah di gang ini,
mengorek-ngorek sampah, mengintip pintu mereka mengharapkan belas kasihan. Jika
beruntung, aku akan mendapatkan kepala kakap besar yang sudah mulai berlendir.
Tapi jika nasibku sedang buruk, aku tak menemukan secuilpun makanan.
Tuan pemilik rumah berpagar hijau itulah yang paling baik terhadapku.
Jika ia sedang makan, kepala ikan sudah pasti menjadi jatahku. Aku dipanggilnya
dengan penuh sayang, kadang dipangku, dielus-elus, kadang aku ditidurkan di
tempat duduknya yang empuk.
Berbeda dengan suaminya, wanita pemilik rumah berpagar hijau itu lebih sering menyakitiku. Terkadang,
aku di berikan makan nasi, disuguhi ikan asin dengan aroma menggiurkan, diberi
telur, tapi di waktu lain, dia memegang
sapu dengan brutal sambil mengejarku. Matanya melotot, kakinya menendang
tubuhku ke luar. Hatiku pedih. Entah apa
salahku.
Angin berhembus semilir mengenai buluku yang dekil. Harum aroma pasir
membuatku malas untuk berdiri. Tanpa ada peringatan, tiba tiba dari arah depan
terlihat sorot lampu terang mengenai wajahku. Aku ingin segera berdiri, namun
tragis, benda keras itu sudah menubruk tubuhku tanpa ampun. Kakiku terasa panas
seperti terbakar, badanku nyeri. Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapanku.
Tidak mau membuang-buang waktu, aku langsung berlari menuju selokan di depan rumah
berpagar hijau. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki dengan bau tubuh
menyengat muncul dan berusaha berlari mengejarku. Gelap. Bunyi gemericik air
mengalir merendam kakiku.
“Pus…” Panggilnya. Aku tak menyahut.
Lelaki berdasi itu mengintip ke dalam selokan. Melihatku diam tak
bergeming, ia langsung pergi meninggalkanku. Kini, hanya tinggal aku sendirian.
Menahan sakit dan juga nyeri. Bau anyir darah segar tiba tiba menusuk hidungku.
***
“Pus….” Seorang wanita memanggilku . Matanya mengintip ke dalam selokan,
tapi aku mundur selangkah. Aku tidak ingin keberaadaanku diketahui oleh mereka.
“Pus…” Panggilnya lagi.
Ibu-ibu pemilik rumah bercat hijau keluar. Tangan kanannya membawa sapu yang biasa untuk memukulku. Samar-samar, terdengar mereka berbicara. Seorang wanita yang tadi memanggilku mengucapkan kata premi. Dan ibu- ibu pemiik rumah hijau itu berucap 10 juta sambil tertawa. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Badanku mulai menggigil kedinginan. Bau anyir darah bercampur bau busuk
selokan menyatu menjadi sebuah aroma yang menyayat hati. Perih. Seperti perihnya
luka di kakiku.
Aku masih tetap bertahan diselokan sampai petang menjelang. Tiap anakku
bersuara, hatiku perih tersayat sayat. Ingin keluar, tapi aku takut ibu-ibu
pemilik rumah itu akan memukuliku lagi karena anakku berisik. Atau, wanita yang
tadi memanggiku itu akan membawaku pergi. Bagaimana nasib anak anakku, jika aku
pergi dari mereka?
Ketika petang mulai menjelang, dan sepi merambati bumi, aku keluar dari
persembunyianku. Tubuhku gemetar kelaparan. Sedangkan tangan dan kakiku tak
sanggup lagi menyusuri tong sampah mencari kepala ikan.
Aku hanya terbaring lemah di dekat anakku bersembunyi. Seperti biasa,
aku disambut dengan wajah sumringah dan senyum bahagia. Walau aku tidak yakin,
masih adakah setetes susu yang bisa kuberikan.
Ketika anak-anakku mulai menyusup di dekat tubuhku, aku merasakan sakit
yang luar biasa. Kakiku yang nyeri tertindih badannya. Meskipun masih mungil,
tapi sentuhan tubuhnya di kakiku yang luka menggoreskan perih yang tak terkira.
Malam itu, aku terbaring dengan perut lapar dan sekujur tubuh nyeri.
Beruntunglah, meskipun persediaan air susu di tubuhku hanya sedikit, tapi mereka
akhirnya terlelap tidur.
Sayangnya, malam itu, nasib buruk belum juga berhenti mengintaiku. Seekor
kucing jantan tiba- tiba menemukan kami. Dari kejauhan, dia mulai mengendus
endus keberadaaan anakku. Dan benar, tidak butuh waktu lama, kucing jantan itu
sudah berdiri di hadapanku. Dengan pongahnya, ia seperti menantang aku berdiri.
Aku tetap dalam posisiku. Aku tidak ingin ia tau aku sedang terluka.
“Meong…” Mataku melotot tajam ke arahnya. Menghardiknya. Berharap, ia
akan lari terbirit-birit menjauh.
Tapi tubuhnya yang kekar justru makin mendekat. Aku tidak rela anak-anakku terluka sedikitpun. Kupasang badan untuk menghalaunya. Walaupun nyeri disekujur
tubuhku terasa sangat perih, tapi aku tetap berdiri meladeninya. Ia berusaha
mencakar perutku, tangannya yang kekar juga berusaha membelit kepalaku. Dadaku
sesak, kakiku terasa patah.
Aku bahkan terlempar sampai ke luar dari rumah berpagar hijau itu.
Mendengar ada keributan, anak anakku terbangun. Ia sadar, ada sesuatu hal buruk
yang terjadi padaku. Sambil tertatih, kucing-kucing mungil itu mendekat.
Tubuhku lemas, nafasku tidak beraturan. Hanya dalam sekali lemparan, aku sudah
tak berdaya lagi. Kucing jantan itu berdiri dengan pongah menertawakanku.
Matanya tajam menatapku seolah ingin berkata,” Akulah pemenang, sebentar lagi
anak-anakmu akan menjadi mangsaku”.
Anak-anakku makin ramai, berteriak tanpa henti sambil merangkulku. Dan
seperti halnya kejadian tadi pagi yang kualami, malam ini, sorot lampu terang
itu kembali menghampiriku. Sebuah mobil mendadak berhenti. Lelaki berdasi tadi
pagi keluar dari mobil dan menggertak si kucing jantan untuk menyingkir.
Badanku sudah terlanjur lemas, mataku berkunang kunang. Samar-samar terdengar
bunyi anakku masih terus meronta. Dan tanpa meminta ijin padaku, tangan lelaki
kekar itu meraih mereka dan membawanya pergi. Dalam gelap, aku menitikkan air mata. Ibu macam apa aku ini? Bahkan
melindungi anak-anakku dari rasa takut pun tidak bisa.
Keesokan paginya, aku masih terkapar di pinggir jalan. Di atas pasir, di
depan rumah berwarna hijau, aku melihat lelaki bertubuh tinggi kurus itu menggali lubang di bawah pohon
belimbing peliharaannya. Tidak seperti biasanya, lelaki itu sama sekali acuh
terhadapku. Tak ada panggilan sayang, bahkan sekedar mengelus buluku pun tidak.
Mungkin karena keributan semalam ia membenciku.
Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan, sambil mengelus
luka di kakiku yang sakitnya mulai mereda. Setelah lubang yang digalinya sudah cukup dalam, ia masuk ke dalam
teras. Mengambil sebuah buntelan kecil,
dan memasukkan seekor kucing “kembaranku” ke dalam lubang yang telah dibuatnya.
sedih banget
BalasHapusKISAH SEEKOR KUCING BETINA
BalasHapusHai, aku kucing betina yang lahir disalah satu sudut kota Jakarta. Aku lahir ditanah kosong yang penuh pepohonan. Ada satu saudara yang juga dilahirkan bersamaku. Beberapa hari setelah lahir, tepatnya pada 21 Februari 2016, kami dibawa oleh induk ke teras salah satu rumah yang terletak didepan tanah kosong. Kami pindah karena sering hujan.
Ketika kami sedang menikmati suasana tiba-tiba dari arah jalan datang seorang perempuan paruh baya melangkah menuju rumah yang terasnya kami tempati. Ia lalu membuka pintu gerbang. Induk kami yang sedang tidur-tiduran dengan sigap mendongakkan kepala. Matanya menatap tajam ke arah perempuan itu. Setelah perempuan itu melangkah masuk tatapannya langsung mengarah ke kami. Spontan ia berkata “Eeeeh.... ada kucing”. Sejak saat itulah kami tinggal dirumah itu.
Beberapa minggu kemudian saudaraku sakit. Ia tidak mau makan walaupun disuapi secara paksa. Ia juga tidak mau menelan air susu atau air putih sekalipun. Karena saudaraku tidak mau makan dan minum tubuhnya makin lunglai. Seluruh anggota keluarga panik. Ketika itu hari sudah mulai larut malam. Dari pembicaraan mereka aku dengar besok pagi-pagi sekali saudaraku akan dibawa ke dokter.
14 Maret 2016 subuh saudaraku tidak lagi kuat menahan sakit. Aku dan induk ada disampingnya ketika ia meregang nyawa. Tidak berapa lama kemudian saudaraku mati. Aku dan induk sangat sedih atas kepergiannya.
Matahari menampakkan sinarnya. Aktifitas anggota keluarga mulai terasa. Suasana menjadi gaduh ketika seluruh anggota keluarga mengetahui saudaraku mati. Mereka menangis. Saudaraku lalu dikubur dihalaman rumah depan teras. Sejak saat itu aku mulai mengerti arti teras, tempat yang mengingatkan kebersamaanku dengan saudaraku. Selamat jalan saudaraku.
Waktu terus berlalu. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Induk hamil lagi. Aku senang bukan kepalang karena akan mendapat adik. Benar saja. Pada 28 juni 2016 induk melahirkan enam kucing. Wow, aku merasa takjub mendapat adik begitu banyak. Tapi sayang tidak semua adik-adikku bisa bertahan hidup. Pada 23 Juli 2016 satu adikku mati karena sakit mendadak, disusul satu lagi mati pada 27 Juli 2016. Mereka dikubur dihalaman depan teras tidak jauh dari kubur saudaraku. Lagi-lagi teras itu mengingatkanku pada awal-awal aku tinggal dirumah ini.
September 2016 aku hamil. Sebenarnya aku masih sangat muda untuk menjadi seekor induk dari anak-anakku nanti. Tapi apa boleh buat. Itulah yang aku alami. Walapun aku berusaha untuk menjaga kehamilanku, namun secara tidak sadar aku masih senang bermain, berlari kian kemari dan berlompat-lompatan. Mungkin karena masih ada sifat kekanakan dalam diriku.
Karena aku sering bergerak dan rahimku masih lemah, aku keguguran. Janin dalam kandungku mati dan aku keracunan. Majikan yang merawatku membawaku ke dokter. Ditengah perjalanan aku menahan rasa sakit yang amat sangat. Akhirnya aku menyerah.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir aku sempat membayangkan menulis surat yang aku tujukan kepada majikanku dan keluarganya. Ini isi suratnya:
Hai Bunda, Ayah, Kak Icha dan Mas Adi. Aku pamit ke surga, ya. Terima kasih sudah merawat aku. Aku titip indukku yang melahirkan aku, ya. Aku juga titip adik-adikku dan kucing lainnya. Semoga mereka panjang umur, sehat dan selalu dalam pelukan hangat Bunda, Ayah, Kak Icha dan Mas Adi.
Aku ke surga tidak sendirian, tapi aku membawa anak-anakku. Aku senang “tidur” dihalaman depan teras bersama saudara-saudaraku yang sudah lebih dulu “pergi”.
Sekarang dari halaman depan teras aku bisa “lihat” Bunda, Ayah, Kak Icha dan Mas Adi berangkat beraktifitas. Aku juga bisa “lihat” Bunda, Ayah, Kak Icha dan Mas Adi pulang dari bepergian.
Sudah, ya. Aku mau tidur panjang. Dah, semuaaa..... Salam, Belo.
Surat ini aku tulis pada 17 Oktober 2016, hari terakhir aku ada didunia.