Langsung ke konten utama

Tentang Suara


Waktu saya umur 2 tahun, menurut Emak dan juga Simbah-simbah, saya masih belum bisa berbicara. Diem aja. Nggak ada suara, nggak ada omongan. Sampai-sampai, tiap hari ditabokin pake daun sirih biar cepet ngomong. Katanya, kalo momong di sambil ngerjain pekerjaan lain gitu selalu bikin deg-deg an. Lha gimana nggak deg-degan, wong bocah nggak ada suaranya, anteng, sunyi, senyap. Jadinya takut kalau kenapa-kenapa trus nggak kedengeran, makanya emak sering was-was momong disambi.

Umur 3 tahunan, saya mulai mengeluarkan bunyi, kata emak. Walaupun kata-kata nya cukup jelas tapi suaranya sangat kecil. Hampir nggak terdengar, jarang-jarang ngomong, trus kalau di suruh teriak selalu nggak mau. Entah kenapa, saya paling benci kalau disuruh teriak.

Saya masih ingat betul, waktu itu emak nyuapi saya bakso di depan rumah. Trus saya bilang,” baksonya empuk”. Mendengar omongan saya, emak langsung menyambut dengan mata berbinar, trus bilang begini,”Apa?? bicara lagi yang kenceng, emak nggak denger” Katanya dalam bahasa jawa.

Saya ngomong lagi, lagi, lagi,  tapi emak terus menyuruh saya mengulagi perkataan itu dengan suara kencang. Lama-lama saya malas. Karna akhirnya saya tahu, emak bukannya nggak denger, tapi emang pura-pura nggak denger untuk memancing saya agar ngomong lebih kenceng lagi.

Sampai saya beranjak  gede, kuliah, jauh dari orang tua,  kebiasaan ngomong dengan suara lirih itu masih terus kebawa. Sampai akhirnya saya berkenalan dengan sebuah mata kuliah bernama "mikro teaching". Di mana, saya harus ngajar 7 orang teman saya sendiri di depan kelas. Seperti seorang guru yang lagi ngajar murid-muridnya. Kayak semacam latihan mengajar gitulah. Selesai mengajar, biasanya akan ada beberapa siswa, teman saya itu yang ngasih komentar kekurangan dan kelebihannya di mana.

Dan ajaibnya....4 dari tujuh orang yang saya ajar memberikan saran dan kritik yang sama. Apakah ituuuu?

"Suliiis....kamu kalau ngomong yang kenceng dong...kalo murid kamu di kelas ada 10 anak, anak yang di belakang pasti nggak kedengeran. Karena suara kamu terlalu pelan dan lirih bangeeeeet," begitu komentar mereka. Waktu itu saya cuma bisa tertawa. Dalam hati trus mbatin,"lha trus piye...emang suaraku begini... nggak bisa disetel kenceng lagi"

Kritikan-kritikan itu ternyata nggak cuma datang dari teman sekelas saja. Seorang tetangga juga pernah bilang begitu sama bapak," Anakmu itu emang bisa jadi guru? wong kalau ngomong aja yang di sebelah nggak kedengeran. lha kalo ngajar di kelas piye?"

Bapak yang waktu itu agak panas dengerin omongan tetangga itu langsung ngadu dan minta ke saya untuk mengubah suara menjadi lebih tinggi dan keras. Harus! kalau perlu, bawa toa kemana-mana, biar kupingnya pada denger. Hahahaha. Waktu itu saya masih agak ragu, bisakah saya mengubahnya? 

Sampai suatu ketika, seorang lelaki yang saya sebut sebagai pacar, ngajakin saya dateng ke rumah buat ketemu orang tuanya. Trus apa katanya pas dia pulang nganterin saya?

"Say, ngomongmu mbok yang kenceng. Bapak ibuk ku nggak denger lhoo kamu ngomong. Karena omongan kamu terlalu lirih." Naik motor, pake kaos kuning dan celana jeans kesayangan, masih inget sampai sekarang.

Jleeeeb....saya akhirnya baru nyadar dan percaya, bahwa suara saya emang terlalu lirih. Saya harus berubah....harus...demi bisa komunikasi sama mertua dengan lancar, biar nggak dikritik lagi di kelas mikro teaching, biar tetangga pada noleh kalau saya sapa, biar bapak nggak malu punya anak saya. Lambat laun, saya mulai belajar ngomong dengan suara kenceng. Latihan di depan kelas, latihan di depan teman-teman, latihan di depan bapak sama emak. 

Apakah itu mudaaaaaaah? Tidaaaak....sama sekali tidak mudah. Kadang kalau selesai ikut kelas"mikro teaching" trus mlipir ke belakang ngusap air mata yang hampir tumpah di depan kelas karena saking tertekannya. Kadang, saya butuh perjuangan yang super ekstra untuk menyapa tetangga yang lewat di depan rumah. Padahal, jarak antara teras sama jalan nggak begitu jauh juga. Dan saya sudah ngeluari suara kenceng banget, menurutku. Tapi orang yang saya sapa itu nggak noleh-noleh juga. Saya nggak tau pasti apakah saya yang nggak kenceng atau orang itu yang agak budeg atau gimana. Bahkan, saat menjadi gurupun suara saya tetap tidak berubah. Masih lirih dan pelan. Tapi saya terus berusaha untuk berubah.

Sampai akhirnya, dengan segala perjuangan yang berliku dan puanjaaaang itu...akhirnya saya berubah setelah berumah tangga dan menjadi ibu. Yang tadinya tiap ngomong yang sebelah nggak kedengeran, setelah jadi ibu, seisi rumah isinya penuh dengan suara saya. Saya akui memang. Terlebih lagi, setiap ngobrol atau ngomong bareng ibu-ibu saya selalu di cap sebagai ibu yang klemak klemek. Ngomong pelan dan bikin ngantuk. Kalo manggil ibuk-ibuk sudah pasti pada nggak kedengeran.

Karena sering latihan ngobrol bareng orang-orang, Sekarang Suara saya berubah kencang, tegas, dan keras. Nggak tau tepatnya mulai berubah kapan. Sekarang saya telah berubah. Bukan lagi emak-emak yang suaranya klemak klemek bikin tidur. 

Eits....tapi ternyata ada yang protes lagi. Suara kencang saya tidak diterima. Katanya suara saya terlalu kencang. Saya coba lagi untuk bersuara lirih. Sepagian ini, saya ngomong pelan-pelan sama shabira. Tapi apa kata shabira???

"Bunda, aku nggak suka bunda yang ini. Suaranya nggak kedengeran, aku nggak suka" Katanya tadi sebelum berangkat sekolah.

Ah....bunda lelah dek...lelah....mengikuti keinginan orang lain itu memang lelah. Apalagi, cuma ngikutin orang yang hanya sekedar mengkritik tapi tidak ngasih solusi. Bakalan bikin hati tambah lelah dan capek.

Memang bener kata orang, dunia ini indah jika semua orang bisa menerima kekurangan dan kelebihan dari orang lain. Titik. 











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gigi Sudah Dicabut Tapi Masih Sakit

Gak punya foto dokter giginya. Adanya foto botol isi air garam buat kumur-kumur saat tindakan Selama pandemi ini, saya sering banget sakit gigi. Bentar-bentar sakit gigi, bentar-bentar ke dokter gigi. Padahal, ke dokter gigi dalam situasi seperti ini horor banget. apalagi kalau tempat dokter gigi langganan kena zona merah. Mau ke rumah sakit juga tambah takut. Masalah gigi ini sebenernya sudah lama banget. Tapi baru sekarang-sekarang ini aja bener parahnya. Disebabkan gigi geraham belakang bolong, trus lubangnya semakin lebar nggak karuan.  Sering sekali saya minta cabut aja sama dokter gigi. Tapi dokter gigi yang saya datangi seringnya menolak. Alasannya, tensi saya 130/90. Jadi kalau mau cabut gigi harus ke rumah sakit dulu, ke dokter penyakit dalam untuk cek segala sesuatunya sekaligus menurunkan tensi. Ujung-ujungnya ya ke rumah sakit dulu. Berhubung saya masih belum berani ke rumah sakit. Apalagi harus periksa gigi, harus cek ini itu, akhirnya acara cabut gigi batal terus. Daaaan.

Trip Sukabumi #Museum Palagan Perjuangan Bojongkokosan

Kemarin, saat kami berkunjung ke Sukabumi mengikuti kaki melnagkah dan nggak tau mau melangkah ke mana lagi, akhirnya ada informasi katanya di Parung kuda ada sebuah museum. Museumnya bernama museum Palagan Perjuangan Bojongkokosan. Dari luar, kami sama sekali nggak mengira kalau di dalam sebuah area yang ada patung gedenya itu ada museum tersembunyi. Saat kami mau masuk pun, bingung mau masuk lewat mana. Ada beberapa anak berseragam sekolah yang mlipir mlipir di dekat pagar. Ketika kami dekati, ternyata itu bukan  jalan masuk utama. Hanya jalan kecil buat lewat satu oarang yang suempit banget. Setelah muterin wilayah berpagar itu, kami akhirnya bertemu dengan seorang bapak dan ditunjukinlah ke mana kami harus masuk. Mendekati pintu gerbang utama, banyak anak sekolah yang lagi nongkrong. Eh, ngomong-ngomong pintu gerbang...pintu gerbang masuknya ternyata udah nggak layak banget. Seperti mau roboh dan susah dibuka #ngenes Saat kami masuk nggak ada satupun yang menyambut #eaa

Jalan-Jalan Nikmat di Kampung Turis

Waktu pertama kali dengar nama kampung turis, bayangan yang terlintas di benak adalah sebuah kampung yang banyak turisnya. Atau...sebuah tempat yang isinya menjual aneka jajanan berbau asing. Kayak di kampung cina, yang isinya macam-macam barang yang berbau kecinaan. Tapi ternyata saya salah. Kampung turis ternyata sebuah resto(tempat makan), tempat ngumpul bareng, tempat renang, tempat main anak, sekaligus tempat nginep. Bahasa gaulnya, Resort and Waterpark. Kampung Turis berlokasi di Kp. Parakan, desa Mekar Buana, kecamatan Tegal Waru-Loji, kab Karawang, Jawa barat. Jadi ceritanya, minggu pagi itu rencananya kami sekeluarga mau ke curug Cigentis. Di daerah Loji juga. Tapi berhubung pagi itu, saat mau berangkat mobil ngambek jadilah kami nunggu mobil pulang dari bengkel. Pulang dari bengkel sudah jam 11 siang. Kalau nggak jadi berangkat rasanya galau banget, kalau berangkat sepertinya tidak memungkinkan karena perjalanan dari rumah ke Loji saja sudah 2 jam. Kalau mau nekat ke curu